KAIDAH
PENUNTUN PENAFSIRAN
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
adalah mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi
ummat manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Al-Qur’an merupakan sumber
utama ajaran Islam, pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan dasar-dasar ajaran
Islam itu tidak akan tercapai jika tidak difahami dengan baik dan benar. Dengan
demikian kita harus mengetahui ilmu yng berkenaan dengan al-Qur’an, dan ini
tidak terlepas dari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
Ilmu
tafsir khususnya harus memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran demi menjernihkan
sumber dan menjaga keagungannya. Salah satu kaidah penuntun penafsiran al-Qur’an
adalah kaidah tauhid (keimanan), dan kaidah ushul fiqh. Maka pada makalah ini
penulis akan membahas tentang kaedah penafsiran, urgensi penafsiran, kaedah
penafsiran tentang ketauhidan (keimanan) dan kaedah penafsiran tentang ushul
fiqh.
B.
Kaidah
Penafsiran
Kaidah tafsir ialah rangkaian aturan yang
bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun) seseorang (mufassir) untuk
mengistinbatkan (menggali) makna-makna al-Qur’an
al-Azhim dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahaman itu
sendiri.[1]
Kaidah tafsir merupakan undang-undang yang
pasti dan mengikat seorang mufassir dalam memahami kitab Allah SWT yang
diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.[2]
Dengan
demikian dapat difahami bahwa kaidah tafsir itu merupakan pedoman bagi
seseorang dalam menekuni bidang tafsir. Dan hal ini tidak terlepas dari
beberapa bidang ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan tafsir itu sendiri,
seperti pengetahuan bahasa arab karena al-Qur’an itu diturunkan menggunakan
bahasa arab. Pengetahuan ushul fiqh,
dengan ilmu ini akan dapat membantu dalam menangkap pesan-pesan al-Qur’an.
Serta kaedah tauhid yang merupakan dasar keimanan dan pondasi dalam Islam.
Hal
ini merupakan kaedah yang mendasar agar mufassir tidak keliru dalam menafsirkan
Al-Quran, karena jika tidak; akan mungkin masyarakat luas khususnya mufassir
itu sendiri berada dalam lingkaran dosa bahkan berada dalam kesesatan.
C.
Urgensi
Kaidah Tafsir
Pentingnya
kaedah tafsir ini adalah untuk menghindari seorang mufassir dari kekeliruan
dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena; orang yang berbicara dan menulis tafsir
al-Qur’an tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang kaidah dan aturan
bahasa arab khususnya punya aqidah yang kuat serta pemahaman tentang ushul fiqh,
cenderung melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan
arti etimologis suatu lafal al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai. Baik
dalam arti hakiki maupun dalam arti kiasan.[3]
Ada
beberapa faktor yang bisa menyebabkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an,
diantaranya adalah :
1. Subjektivitas
mufassir
2. Kekeliruan
dalam menerapkan metode atau kaidah
3. Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat
4. Kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat
5. Tidak
memperhatikan konteks, baik asbabun nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi
sosial masyarakat
6. Tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara ditujukan[4]
Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah tafsir yang baik dan benar, maka kekeliruan-kekeliruan
di atas dapat dihindari semaksimal mungkin. Karena al-Qur’an itu sebagai
petunjuk bagi manusia, sebagaimana yang tercantum dalam QS al- Baqarah : 2-3
Artinya: Kitab al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, meaksanakan shalat
dan menginfaqkan sebagian rezqi yang kami berikan kepada mereka. (QS Al Baqarah
: 2-3)
Kemudian di dalam surat Ibrahim
ayat 1 juga dijelaskan
Artinya : Alif, Laam, Raa, (Ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya
kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang
dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji.( QS. Ibrahim : 1)
Jika
ayat al-Qur’an di atas tidak ditafsirkan dengan baik dan benar yang mengikuti
kaedah kaedah penafsiran, maka sudah dapat dipastikan ayat al-Qur’an tersebut
tidak akan bermanfaat sebagai petunjuk bagi manusia untuk menuju jalan yang
benar yang akan mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
D.
Kaidah
Tauhid (Keimanan)
Aqidah
menurut ketentuan bahasa adalah: Sesuatu yang dipegang teguh dan terhunjam kuat
di dalam lubuk jiwa dan tak dapat beralih daripadanya.[5]
Tauhid merupakan hal-hal yang mendasar dalam keimanan, maka seharusnyalah
seorang mufassir adalah orang yang benar aqidahnya. Berpegang pada Al-Quran dan
Hadist serta mengamalkan apa yang diketahuinya, tidak bertujuan kecuali
mengharap ridha dari Allah SWT.
Ada
beberapa cara untuk memantapkan pengakuan dan pernyataan bahwa tidak ada Tuhan
kecuali Allah SWT.[6]
1. Memikirkan
dan merenungkan sunnatullah, (hukum kausalitas { hukum sebab akibat} yang
ditetapkan Allah SWT yang berlaku di alam semesta) serta memikirkan tanda-tanda
kebesaran Allah SWT pada alam semesta (al-ayat al-kauniyah). Setelah itu
memperhatikan, merenungkan makna nama sifat, dan perbuatan Allah SWT yang
menunjukkan kemahasempurnaan dan kemahabesaran-Nya. Dengan memikirkan dan
merenungkan semua itu maka dalam diri
kita akan timbul dorongan yang semakin besar untuk mempertuhankan Allah dan
mengabdikan diri semata-mata hanya kepada-Nya.
2. Menyadari
dan mengetahui, hanya Allah SWT yang berkuasa menciptakan dan mengatur seluruh
alam ini. Dengan mengetahui hal ini, kita akan menyadari Tuhan hanyalah Allah,
bukan yang lain.
3. Mengatahui
dan menyadari, hanya Allah yang berkuasa memberi segala kenikmatan yang telah
kita terima, baik yang bersifat lahir, bathin, keagamaan, maupun keakhiratan.
Dari dalam qalbu kita akan timbul rasa ketergantungan pada-Nya, baik dalam
bentuk rasa takut maupun harap.
4. Mengetahui
dan memperhatikan pahala-pahala yang diterima para wali-wali Allah, yaitu orang
yang telah berjuang menegakkan dan mempertahankan keyakinan tauhid mereka, baik
dari balasan berupa pertolongan , kenikmatan di dunia, maupun syorga di akhirat
nanti. Di samping itu hendaknya kita perhatikan pula akibat yang diderita oleh
orang-orang yang menyekutukan Allah SWT (musyrikin). Semua itu akan menjadi
cambuk bagi kita untuk menyadari hanya Allah yang berhaq untuk disembah dan
hanya Dia yang menjadi tumpuan dan pengabdian.
5. Mengetahui
dan mengenal jenis-jenis thaghut
(setan) yang menggoda dan memalingkan manusia dari tuntunan kitab-kitab suci
dan bimbingan para rasul Allah SWT. Hendaknya kita merenungkan sebaik-baiknya
hakikat patung-patung dan berhala yang dipuja orang. Dari semua sisi, patung
dan berhala itu sangatlah lemah, ia tidak dapat memiliki dirinya sendiri dan
tidak mampu menolong dirinya sendiri. Apalagi memberikan pertolongan atau
menghindarkan bahaya dari para penyembahnya, walau sebesar molekul sekalipun.
6. Mengetahui
dan meyakini bahwa semua kitab suci yang diturunkan Allah SWT menegaskan tidak
ada tulisan selain Allah SWT. Tidak ada satu kitab sucipun yang diturunkan
Allah SWT yang tidak menegaskan dan mengajarkan tauhid.
7. Mengetahui
dan menyadari kenyataan, bahwa manusia-manusia pilihan yang memiliki kecerdasan
akal, pengetahuan, pandangan dan akhlak sempurna, yaitu para nabi dan rasul
Allah SWT, mulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad SAW, demikian pula para
ulama, wali, dan pendeta yang benar bersepakat dan bersaksi hanya Allah SWT
yang berhaq disebut sebagai tuhan. Tidak ada tuhan selain Allah SWT.
8. Mendasarkan
pandangan pada dalil dan bukti yang paling nyata serta besar baik yang terdapat
pada penciptaan alam semesta sebagai makrokosmos maupun di dalam penciptaan
diri manusia sebagai mikrokosmos, bahwa tuhan hanya Allah SWT. Setiap kali
penelitian yang dilakukan manusia untuk mengungkap rahasia-rahasia hukum alam,
semakin disadari betapa rapi, teratur, dan menakjubkannya penciptaan alam
tersebut. Hal ini sekaligus akan semakin
menyadarkan manusia batapa Allah SWT
Maha Bijaksana, Maha Mengatahui, dan betapa Maha luas pengetahuan-Nya. Maha
suci Allah SWT dari semua yang mereka serikatkan.
Dari
beberapa unsur di atas dapat difahami bahwa pengakuan dalam memantapkan aqidah
tidak diragukan lagi, jika dapat mengamalkan dan mengikuti cara-cara tersebut.
Demikian pula, jika seseorang menjadi mufassir aqidah dan keyakinan pada Allah
SWT harus sempurna, karena merupakan
suatu hal yang mendasar dan merupakan suatu kaidah atau aturan dalam
menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Sesungguhnya aqidah mempunyai pengaruh yang dominan dan sangat
luar biasa terhadap kepribadian, pemikiran, jiwa dan prilaku seseorang.
Dengan
tauhid yang sempurna diharapkan seorang mufassir dapat terjaga dari hal-hal yang dapat mempengruhi
penafsirannya terhadap al-Qur’an, karena sekecil apapun kekeliruan yang
dilakukan maka dapat membahayakan ummat juga diri sendiri. Para mufassir yang
mempunyai ketauhidan yang baik tidak akan mencelakakan dirinya maupun orang
lain demi mencari popularitas atau mencari keuntungan semata.
Untuk
menyampaikan ajaran tauhid, al-Qur’an menempuh berbagai cara, antara lain:
a.
Menyeru dan
memerintahkan manusia bertauhid
b.
Melarang
menserikatkan Allah SWT
c.
Menjelaskan
nilai-nilai positif sikap bertauhid
d.
Menjelaskan
akibat negatif sikap menentang prinsip tauhid
e.
Menjelaskan
balasan pahala bagi orang yang bertauhid di dunia dan di akhirat
f.
Menjelaskan
perbedaan antara orang-orang yang mengesakan Allah SWT dan orang-orang yang
musyrik.[7]
Ajaran
tauhid yang di sampaikan al-Qur’an ini merupakan hal yang dapat dijadikan
pedoman bagi seorang mufassir untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam, dan jika ajaran tauhid seseorang rusak maka
amalannya tidak akan berguna lagi dan akan terhapus, sebagaimana yang di
jelaskan Allah SWT dalam al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 65 :
Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada ( nabi-nabi )
yangsebelummu “jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Az Zumar :65)
Selain
dalam surat Az Zumar ayat 65 di atas, Allah SWT juga menjelaskan dalam suran Al
An’am ayat 88 ;
Artinya : Itulah petunjuk Allah SWT yang dengannya dia memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hamba-Nya, seandainya mereka
mempersekutukan Allah SWT, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.(QS : al-An’am : 88)
Dari
ayat di atas dapat dilihat bahwa orang yang rusak tauhidnya maka akan dihapus
amal perbuatan yang sudah di kerjakan. Betapa meruginya orang-orang yang sudah
beramal kemudian akan dihapus, ibarat orang yang sudah mengetik sekian banyak
kemudian didelete. Demikian juga
seorang mufassir yang rusak tauhidnya,
maka akan sulit diterima penafsirannya, karena berpeluang melakukan kesalahan.
E.
Kaidah
Ushul Fiqh
Al-Syaukani
dalam buku Djazuli mendefinisikan ushul fiqh ialah ilmu untuk mengetahui
kaidah-kaidah, yang kaidah tadi bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’
yang berupa hukum furu’ (cabang) dari dalil-dalilnya
yang terperinci.[8]
Adapun
kegunaan ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut
persoalan aqidah, ibadah, muamalah, uqubah dan akhlak. Pengetahuan tentang
dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak
syar’i.[9]
Dengan
demikian dapat difahami bahwa kaidah ushul fiqh ini tidak dapat ditinggalkan
dalam menafsirkan al-Qur’an. Rusydi
mengutip pernyataan Wahbah al-Zuhaili tentang pentingnya kaidah ushul fiqh ini:
Ulama ushul fiqh menetapkan beberapa
kaidah dimana dengan kaidah-kaidah tersebut difahami hukum-hukum yang
terkandung di dalam nash tersebut secara proporsional, sehingga pemahamannya
tidak melenceng dari apa yang seharusnya, dapat mengungkapkan makna-makna lafal
yang masih samar serta tidak terjebak pada kaidah bahasa saja.[10]
Para
ahli tafsir juga sepakat untuk menempatkan ilmu ushul fiqh sebagai salah satu
syarat yang harus dimiliki para mufassir. Kedudukan uhsul fiqh dalam agama
merupakan sesuatu yang defenitif (qath’i),
bukan sesuatu yang patut dipertanyakan lagi.[11]
Kaidah tauhid, sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu yang merupakan
pondasi atau tiang dalam Islam merupakan satu kesatuan dengan ushul fiqh ( syariat ), karena tidak mungkin syariat
tercapai tanpa adanya aqidah, begitu juga sebaliknya.
Para
ulama ushul fiqh, mengemukakan beberapa kaidah umum ushul fiqh yang terkait
dengan penafsiran al-Qur’an, kaidah-kaidah tersebut diantaranya:
1. Al-Quran
merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum
atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Al-Quran
2. Untuk
memahami kandungan al-Qur’an, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab
diturunkannya al-Qur’an (asbab al-nuzul
), karena ayat-ayat al-Qur’an itu
diturunkan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat
ketika itu, alasannya adalah :
a. Seseorang
tidak bisa memahami kemukjizatan Al-Quran, kecuali setelah mempelajari situasi
dan kondisi sosial di zaman turunnya al-Quran tersebut.
b. Ketidak
tahuan sebab-sebab turunnya ayat, akan membuat kerancuan dalam memahami
hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an, karena al-Qur’an itu turun sesuai dengan
permaslahatan yang memerlukan ketentuan hukum.[12]
Betapa
pentingnya kaidah ushul fiqh ini, sebab di dalam al-Qur’an itu sendiri banyak
mengandung ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum, bahkan lebih dari 1000
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa
ushul fiqh itu masuk dalam kategori penafsiran ayat ayat al-Qur’an.
Ada
beberapa kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqh itu sendiri, antara
lain :
1. Patokan
memahami ayat adalah berdasarkan redaksi yang bersifat umum, bukan khusus
terhadap kasus yang menjadi sebab turunnya ayat.
2. Sesuatu
yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajb.
3. Perintah
atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya dan larangan atas sesuatu
berarti perintah atas kebalikannya.[13]
Adapun
contoh ayat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah di atas di kutip dari berbagai
ayat, diantaranya adalah :
Patokan
mamahami ayat berdasarkan redaksi umum, bukan khusus terhadap kasus yang yang
menjadi sebab turunnya ayat. Terdapat dalam surat al Kafirun ayat 1-5, yang
menjelaskan tentang larangan pada sahabat Nabi untuk tidak meminum minuman yang
memabukkan.
1.
Katakanlah
: “hai orang-orang kafir
2.
Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
3.
Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah
4.
Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
5.
Dan
kamu tidak pernah ( pula) menjadi penyembah tuhan yang aku sembah
6.
Untukmu
agamamu, dan untukkulah agamaku.
Jadi
jelaslah kalau ayat di atas bukan hanya untuk sahabat Nabi saja, melainkan untuk seluruh
ummat Islam agar tidak berkompromi dengan yang maksiat dalam hal urusan agama.
Adapun
contoh ayat yang berkaitan tentang sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan
yang haram atau yang mengabaikan yang wajib terdapat dalam surat al Jumu’ah
ayat 9
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat jum’at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alah SWT dan tinggalkanlah jual beli,
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS : al-Jumu’ah : 9)
Ayat
ini menjelaskan bahwa halalnya jual beli pada hari jum’at, tetapi apabila
shalat jumat tidak dilaksanakan maka menyebabkan jual beli tersebut menjadi
dilarang.
Sedangkan
contoh ayat tentang perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya
dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas kebalikannya. Terdapat dalam
surat al Muzzammil ayat 10 ;
Artinya ; Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka
dengan cara yang baik.(QS : al-Muzzammil : 10)
Perintah
bersabar dalam ayat di atas menjelaskan bahwa orang beriman juga diwajibkan
untuk tidak berputus asa, serta tidak tergesa gesa melakukan tindakan sebab
tergesa-gesa itu mencerminkan ketidak sabaran.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat difahami bahwa kaidah ushul fiqh sangat penting dalam
menafsirkan al Qur’an, agar apa yang dimaksud oleh ayat dapat difahami dengan
benar. Disamping itu dalam memahami ayat tidak terlalu sempit, dan di harapkan
jangan sampai keluar dari maksud yang disampaikan ayat.
F.
Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah
tafsir sangat diperlukan dalam menafsirkan al Qur’an, karena kaidah ini sangat
membantu para mufassir dan tidak kehilangan arah dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an.
2. Kaidah
tauhid sangat dibutuhkan dalam menafsirkan al-Qur’an karena dengan tauhid yang
sempurna, dapat diharapakan seorang mufassir terjaga dari segala hal yang dapat
mempengaruhi penafsirannya terhadap al-Qur’an. Sebab sekecil apapun kekeliruan
yang dilakukannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka betapa banyaknya manusia
yang akan tersesat. Mufassir yang memiliki tauhid yang sempurna tidak akan
mencelakan dirinya sendiri, juga orang lain.
3. Pentingnya
kaidah ushul fiqh ini, karena dengan kaidah tersebut dapat difahami hukum-hukum
yang terkandung di dalam nash tersebut, sehingga pemahamannya tidak melenceng
dari apa yang seharusnya, dapat mengungkapkan makna-makna lafal yang masih
samar serta tidak terjebak pada kaidah kaidah bahasa saja.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Suma, Amin, Muhammad, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001
Rusydi, Ulum al-Qur’an II, Padang : Yayasan Azka, 2004
Chirzin, Muhammad, Al Quran dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Dhana Bhakti Prima Yasa,
1998
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam,
Jakarta : P.T. Bulan Bintang, 1983
Dahlan, Abdurrahman, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010
Djazuli, Ilmu Fiqh – Penggalian
Perkembangan dan Penerapann Hukum Islam, Jakarta : Prenada Media Group,
2010
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997
[1]
. Muhammad Amin Suma, Sutdi Ilmu Ilmu Al
Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h., 165
[2].
Rusydi AM, Ulum Al Quran II, (Padang:
Yayasan Azka, 2004), h., 2
[3].
Muhammad Chirzin, Al Quran dan Ulumul
Quran, (Yogyakarta: Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998), h., 142
[4]
. ibid
[5].
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid / Kalam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h., 51
[6]
Abdurrahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir,
(Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2010), h., 204-209
[7].
Ibid., h., 200
[8]
Djazuli, Ilmu Fiqh; Penggalian
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, ( Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2010), h., 7
[9]
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Ciputat
: Logos Wacana Ilmu, 1997), h., 5
[10]
Rusydi AM, op.cit., h., 3
[11]
Muhammad Amin Suma, op.cit., h., 150
[12]
Nasrun Haroen, op. cit., h., 34-35
[13]
Muhammad Chirzin, op.cit., h.,
143-144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar